Langsung ke konten utama

Masih Kota ini


Ingin pulang mengalahkan tidak ingin pulang. Rindu kepada kampung halaman beserta seluruh komponen yang melengkapinya. Rindu mendengar fasihnya lidah minangkabau yang bersahut-sahutan di Pasar Bawah dekat sekolah. Rindu melepas tawa bersama sanak saudara. Mengalahkan ego untuk menunda menapakkan kaki di ranah minang. Alasan kata-kata pulang menjadi candu sekaligus tabu untuk kulontarkan adalah karena kebahagiaan yang pernah kugaris di sudut-sudut kota bersama keluarga besar kini terlihat dengan cara yang sedikit berbeda.

Setiap sudut kota ini membangkitkan kenangan lama. Membuat kerongkonganku terasa penuh, dan mata terasa panas. Kota Padang, di kota ini setengah dari usia Papa dihabiskan. Sampai akhirnya memulai kehidupan berdua dengan belahan jiwanya, di Kota sejuk Bukittinggi. Sebagian orang akan melihatku sebagai orang yang susah move on. Iya memang, karena mereka tidak mengenal Papa seperti aku mengenal beliau. Mereka tidak berada di posisi yang sama. Setidaknya tulisan rindu ini kutujukan untuk pahlawanku. Untuk laki-laki yang ketulusan cintanya tidak perlu kuragukan lagi. Jadi tidak papa. 

Seperti biasa, tulisan mellow seperti ini tidak akan muncul begitu saja dengan tiba-tiba. Walaupun rindu masih mengisi setiap hari, tapi bisa dikendalikan. Hanya saja ketika lingkungan sekitar mendukung untuk ber-nangis-ria , maka pertahananku tidak sanggup menahannya. Kali ini yang menjadi pemicunya, Opa. Beberapa hari setelah sampai di Padang, aku menjenguk opa. Opa sudah tua dan sedang sakit. Rindu, dengan keluarga Papa. Tentunya, karena sudah setahun tidak bertemu muka. Ketika bertemu dengan keluarga Papa, aku tahu memori beberapa tahun yang lalu akan ikut ke permukaan. Dan aku tahu tanpa sengaja akan banyak kalimat Seandainya yang tersusun di otak. Tentu saja itu tidak baik, karena jauh dari kata-kata syukur. Maka tidak akan kulontarkan, cukup terfikir saja.

Saat akan pulang dari menjenguk Opa, beliau berjalan mengangkat serta selang-selang yang dipasang di tubuh beliau untuk melihatku pergi. Melihatnya tentu saja membuat hati ini terenyuh, dan semakin tidak bisa tertahankan lagi air mata yang sudah deras. Memberi lambaian kecil dengan air mata yang jelas di wajah beliau membuatku pusing menahan agar air mata tidak ikut jatuh. Opa, sehatlah dan tunggu indah segera menjadi dokter. Memeluk Opa sebelum pulang hanya menambah rindu saja. Tapi aku tahu beliau juga teringat anak lelaki yang disayanginya ketika melihatku. Dan itu membuat beliau rindu sekaligus berduka. Karena itu aku takut berlama-lama membuat beliau sedih. Namun berpisah dengan Opa ternyata terasa lebih sedih.

Sepanjang jalan, hawa panas dan hiruk pikuk kota ini tidak lagi mengusik peratianku. Karena pikiranku sudah larut dalam lamunan yang membuatku terisak. Kembali kudengar suara tawa gurih Pahlawanku. Kalimat- kalimat khas yang candu kudengar. Wajah sayu yang tenang kembali terlintas , inilah yang membuatku takut pulang. Padang, Bukittinggi, Batusangkar, Payakumbuh , Lintau , Solok , dan kota- kota lain yang menyimpan cerita-cerita manis masa kecilku. Kemana? kemana ya pa di ranah minang ini yang tidak akan kulihat video klip dari tahun-tahun lalu bersama papa? 

Besok ketika sudah sampai di rumah ,Bukittinggi. Galau ini harus sudah tersapu bersih. Karena bertahan lama dengan suasana begini hanya akan membuat rugi. Padahal papa sudah bahagia disana , untuk apa berlama-lama menangis. Nanti saja, dengan cara memperbaiki diri dan selalu berdoa untuk papa dan mama, semoga nanti pelukan hangat itu akan abadi di Surga. Aamiin.
Foto Jadulll jaman Smp (Zara-Iip-Papa-Meeeeh-Dinda) di Istana Pagaruyung Batusangkar
Zara masi anak sd bocah , kerudungan ke sekolah aja haha , dan kurus ee
Iip masi cekiing
Papa tetep gitu aja wkwk peluk-able
Indah masi anak Mts ingusan
Dinda (ma cousin) masi dibawah ketek wkwk


Komentar